|
Dimuat di Koran Jakarta edisi Senin, tanggal 24 Oktober 2016 |
Bambang
Hertadi Mas yang biasa dipanggil Paimo, telah menjadi legenda di kalangan
pecinta olahraga sepeda jarak jauh. Hingga kini, belum ada yang mampu menyamai
prestasinya. Dia sudah mengelilingi lima benua naik sepeda. Dia mendaki 67
gunung di mana 11 di antaranya dengan mengayuh dan memanggul sepeda.
Buku ini
merupakan rangkaian pengalaman dan perjalanannya selama bertualang keliling
dunia naik sepeda. Naik sepeda karena
murah, ramah lingkungan, berdaya jelajah tinggi hingga jauh ke pelosok daerah.
Bersepeda sesungguhnya bukan sekadar menaklukkan jarak, lebih dari itu untuk
menemukan jati diri. Bersepeda juga jujur pada kelebihan atau kelemahan diri
(hal 7).
Sebelum berangkat, dia selalu mempelajari
masyarakat, cuaca, dan alam yang akan dilalui. Perlu juga analisis peta rute perjalanan terbaik. Dia tak lupa
menyusun jadwal. Persiapan lain, latihan
fisik seperti lari, olah beban, bersepeda secara rutin dan progresif (hal 16).
Untuk
membiayai perjalanan, Paimo berjualan pin/lencana, cinderamata, bekerja sebagai
konsultan teknis. Ada juga bantuan beberapa perusahaan yang bersimpati dan
dukungan para donatur. Petualangan dibuka dengan salah satu pencapaiannya yang
monumental tahun 1987. Dia mengayuh dan memanggul sepeda sampai ke puncak
Gunung Kilimanjaro (5.896 mdpl), tertinggi di Afrika.
Tahun 1993,
Paimo bertualang bersama The First International Tibetan Bicycle Rally di
Beijing. Mereka bersepeda sejauh 1.937 kilometer dari Xining sampai Lhasa.
Mereka menjelajahi dataran tinggi Tibet, menembus Gurun Gobi, menelusuri bagian
Silk Road, dan berakhir dengan berkemah di Tembok Besar Tiongkok.
Paimo juga
pernah bersepeda menjelajahi gurun Great Victoria Australia, beberapa negara
Asia Tenggara, dan menikmati keindahan kota Salzburg Austria. Bagian lain yang
pernah dijelajahi adalah New Zealand, dan Himalaya. Di setiap perjalanan, dia membuat target
rata-rata 100 kilometer dengan sepeda buatan Indonesia tahun 1995.
Menjadi
petualang sepeda bukan soal kekuatan dengkul semata. Ia harus siap menghadapi
berbagai risiko seperti cuaca dan iklim yang berubah-ubah secara ekstrem,
termasuk ketika harus melewati zona rawan yang bisa mengancam nyawa.
Bersepeda
sendirian ribuan kilometer dibutuhkan fisik, jiwa, semangat, dan mental prima.
Namun, resiko itu justru menempa fisik dan mental menjadi lebih kuat. Seorang petualang
tangguh bukan dilahirkan, tapi dibentuk alam (hal 123).
Perjalanan
membelah dunia dengan sepeda, tidak dapat dibandingkan dengan wisata lainnya.
Dengan sepeda memungkinkan sang petualang berinteraksi langsung dengan
sekeliling, menemukan persahabatan, mencicipi makanan lokal, menghirup aroma
khas pinus, sengatan matahari dan dinginnya udara. Dia bisa menyaksikan
berbagai pemandangan alam, mendengarkan kicauan burung dan berjumpa aneka
binatang liar. Terkadang semua itu menimbulkan rasa rindu, bahkan ketagihan
(hal 273).