Senin, 24 Oktober 2016

Menaklukkan Lima Benua dengan Bersepeda

Judul            : Bersepeda Melintasi Benua, Merambah Dunia
Penulis         : Bambang Hertadi Mas
Penerbit       : Gramedia
Cetakan       : Pertama, Juli 2016
Tebal            : 394 halaman

ISBN             : 9786020334035




Dimuat di Koran Jakarta edisi Senin, tanggal 24 Oktober 2016
Bambang Hertadi Mas yang biasa dipanggil Paimo, telah menjadi legenda di kalangan pecinta olahraga sepeda jarak jauh. Hingga kini, belum ada yang mampu menyamai prestasinya. Dia sudah mengelilingi lima benua naik sepeda. Dia mendaki 67 gunung di mana 11 di antaranya dengan mengayuh dan memanggul sepeda.
Buku ini merupakan rangkaian pengalaman dan perjalanannya selama bertualang keliling dunia naik  sepeda. Naik sepeda karena murah, ramah lingkungan, berdaya jelajah tinggi hingga jauh ke pelosok daerah. Bersepeda sesungguhnya bukan sekadar menaklukkan jarak, lebih dari itu untuk menemukan jati diri. Bersepeda juga jujur pada kelebihan atau kelemahan diri (hal 7).
  Sebelum berangkat, dia selalu mempelajari masyarakat, cuaca, dan alam yang akan dilalui. Perlu juga analisis peta  rute perjalanan terbaik. Dia tak lupa menyusun jadwal. Persiapan lain,  latihan fisik seperti lari, olah beban, bersepeda secara rutin dan progresif (hal 16).

 Untuk membiayai perjalanan, Paimo berjualan pin/lencana, cinderamata, bekerja sebagai konsultan teknis. Ada juga bantuan beberapa perusahaan yang bersimpati dan dukungan para donatur. Petualangan dibuka dengan salah satu pencapaiannya yang monumental tahun 1987. Dia mengayuh dan memanggul sepeda sampai ke puncak Gunung Kilimanjaro (5.896 mdpl), tertinggi di Afrika.
 Tahun 1993, Paimo bertualang bersama The First International Tibetan Bicycle Rally di Beijing. Mereka bersepeda sejauh 1.937 kilometer dari Xining sampai Lhasa. Mereka menjelajahi dataran tinggi Tibet, menembus Gurun Gobi, menelusuri bagian Silk Road, dan berakhir dengan berkemah di Tembok Besar Tiongkok.
 Paimo juga pernah bersepeda menjelajahi gurun Great Victoria Australia, beberapa negara Asia Tenggara, dan menikmati keindahan kota Salzburg Austria. Bagian lain yang pernah dijelajahi adalah New Zealand, dan Himalaya.  Di setiap perjalanan, dia membuat target rata-rata 100 kilometer dengan sepeda buatan Indonesia tahun 1995.
 Menjadi petualang sepeda bukan soal kekuatan dengkul semata. Ia harus siap menghadapi berbagai risiko seperti cuaca dan iklim yang berubah-ubah secara ekstrem, termasuk ketika harus melewati zona rawan yang bisa mengancam nyawa.
 Bersepeda sendirian ribuan kilometer dibutuhkan fisik, jiwa, semangat, dan mental prima. Namun, resiko itu justru menempa fisik dan mental menjadi lebih kuat. Seorang petualang tangguh bukan dilahirkan, tapi dibentuk alam (hal 123).
 Perjalanan membelah dunia dengan sepeda, tidak dapat dibandingkan dengan wisata lainnya. Dengan sepeda memungkinkan sang petualang berinteraksi langsung dengan sekeliling, menemukan persahabatan, mencicipi makanan lokal, menghirup aroma khas pinus, sengatan matahari dan dinginnya udara. Dia bisa menyaksikan berbagai pemandangan alam, mendengarkan kicauan burung dan berjumpa aneka binatang liar. Terkadang semua itu menimbulkan rasa rindu, bahkan ketagihan (hal 273).

Diresensi Ganda Rudolf, Alumnus AMIK Master Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar