Judul : Perempuan-Perempuan
Tebal
Buku : 179 halaman
Penulis : Ana Mustamin
Penerbit : TRIZAHBOOKS
Tahun Terbit : Maret 2016
Setiap
penulis memiliki gaya dan warna yang menjadi ciri khas di tiap karyanya. Bila
Ahmad Tohari menghiasi tiap cerita dengan kalimat-kalimat informatif dan
deskriptif, yang terkesan membangun suasana pedesaan. Maka, Ana Mustamin membangun
suasana sebagian besar ceritanya dengan metafora. Tentu saja, bukan metafora
yang sudah klise dan basi. Tetapi, elegan.
Perhatikan
saja, misalnya : Dan kepedihan serta
kelelahan begitu mudah menetaskan kerapuhan dan kepitaman (hlm. 34)/ Ada kilat
yang nyala di angkasa, lantas mati di penghujung cakrawala. Guruh secara runtun
melukai keheningan langit. Musim yang rapuh, batin Utami, seperti hatiku. Suara
yang keras dan berat milik papa senantiasa membuatnya gagal memaki Utari. Ia
seolah datang untuk memangkas habis pita suaranya, memaksanya berdiri di pihak
yang lemah. Selalu begitu. (hlm. 35)/ Lalu di sinilah ia sore ini. Berjalan
kaki sendirian. Menceburkan diri dalam kawah riuh Sudirman. Melangkah
lamat-lamat, seperti anak jalanan yang terlantar ditinggal ibunya yang melacur.
Ia enggan mengejar bayangan orang-orang bergegas. Orang-orang yang setiap hari
menghitung gemerincing rupiah di balik gedung-gedung pencakar langit, wajah
yang memelihara was-was ketika rupiah berakrobat di pasar uang. (hlm. 112)//
dan seterusnya.
Sudah pasti, tiap cerita wajib memiliki persoalan. Dan, meskipun perkara
kehidupan manusia tidak pernah lepas dari cinta, rindu, dendam, keangkuhan,
kebencian, dan sebagainya, tetapi Ana Mustamin bisa menciptakan kisah yang membius
pembacanya untuk tetap setia hingga akhir. Bahkan cenderung membuat horison harapan pembaca terkecoh sehingga membuat akhir cerita seperti tak terduga.
Mengutip
kata pengantar oleh Maman S Mahayana bahwa cerpen atau karya sastra pada
umumnya tidak sekadar menyampaikan sebuah pesan tetapi juga mempresentasikan
ideologi penulisnya. Dalam hal ini, Ana Mustamin tidak menunjukkan semangat,
passion, dan keberpihakan pada posisi perempuan atau laki-laki, melainkan pada
penyikapan manusia dalam menjalani kehidupan. Ia tidak latah memperjuangkan
ideologi tertentu, sebab semangatnya berorientasi pada manusia dan kemanusiaan.
Demikianlah. Bila ingin mengetahui analisa tiap cerita dalam himpunan
cerpen ini, melalui kata pengantarnya, Maman S Mahayana sudah menjabarkannya
dengan ciamik. Pun sekedar mengikis
rasa penasaran bagaimana proses kreatif dan riwayat cerita-cerita dalam buku
ini, Ana Mustamin dengan jujur membeberkannya dalam bab Di Balik Cerita.
By : Ganda Rudolf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar