“Inspirasi
ceritanya datang dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Pantangan
dalam cerita anak---terutama menggurui---memaksa dia kreatif agar penyelamannya
tersaji secara indah dan lebih tersaring. Supaya hanya sari makanan yang
bernilai yang perlu untuk perkembangan jiwa anak.”
Demikianlah kata Pak Soekanto SA yang
sebelumnya tidak yakin apakah cerita anak punya nilai sastra.
Orang-Orang Tercinta. Judul sebuah buku
kumpulan cerpen anak karya Soekanto SA yang identik dengan Si Kuncung, majalah anak pada akhir tahun 1950-an sampai
pertengahan tahun 1970-an.
Semula saya memilih buku ini hanya karena
membaca judul “Kumpulan Cerpen Anak” pada bagian bawah cover buku (sekadar mereferensi).
Tak kenal sebelumnya siapa Soekanto SA.
Namun, begitu membaca cerita pertama dan
seterusnya, saya sangat kagum dengan gaya bahasanya. Begitu singkat, padat,
ringan dan apa adanya tapi mengena.
Setelah membaca tiap kalimat penghabisan
cerita, kepala saya geleng-geleng. Karyanya tidak hanya indah, tetapi juga
bermanfaat dan punya kemampuan membersihkan jiwa. Padahal ceritanya sederhana tentang orangtua dengan anak, guru dengan murid,
kakek/nenek dengan cucu, antar tetangga, tukang becak, penyapu jalanan, penjaga
sekolah, dll. Alur cerita yang ditawarkan tidak hanya memuat keceriaan, tapi
juga kesedihan, kepasrahan, haru, renungan, kepolosan, cinta kasih, kerinduan.
(by sinta nisfuanna ; http://blogbukuindonesia.com )
Baiklah, saya contohkan saja 2 cerita yang
sangat saya sukai.
IBU
JAMBI
Cerita diawali dengan Ibu Jambi yang melapor
pada suaminya yang baru pulang dari lembur.
“Terlalu
anak-anak, susah disuruh. Disuruh mati barangkali ibunya…”
(masalah cerita ini tentang anak yang susah
disuruh dan membantu ibunya. Disuruh mencuci piring malah lari main ke anak
tetangga, disuruh mandi susah, magrib-magrib disuruh pulang juga susah)
Cerita bergulir dimana tokoh Pak Jambi
mengumpulkan semua anaknya. Untuk bercerita tentang kasih ibu. Cerita tentang
seorang ibu dengan seorang anak perempuannya yang masih bayi. Ayahnya telah
meninggal. Pada suatu malam, ibu ini harus pergi ke pasar untuk membeli beberapa pesanan langganan-langganannya. Karena
tak dapat ditunda lagi, ia tinggalkan bayi dalam keadaan tertidur. Tapi sayang
ia lupa memadamkan lampu minyak di kamar. Seekor kucing menyinggung lampu itu.
kebakaranlah rumah itu. ibunya yang baru pulang berteriak dan memasuki lautan
api menuju kamar anaknya. Ketika api akhirnya berhasil dipadamkan, terlihatlah
ibu itu sedang memeluk anaknya. Tetapi keduanya telah mati.
“Nah,
Mamat, Win, Ani, kau sudah besar,. Ketahuilah, ibumu sebesar itu juga cintanya
kepadamu. Misalkan kau dalam bahaya, ibumu akan menembus api untuk menolongmu.
Percaya, tidak? Nah, sekarang bagaimana sebaliknya, cintakah, sayangkah kamu
sekalian kepada ibumu?”
Mamat,
Win dan Ani berair matanya. Terharu mungkin oleh cerita ayahnya.
Hanya
Mamat yang pandai menjawab, “Sayang, Pak…”
“Misalkan
ibu dalam keadaan terbakar di rumah ini, Mamat datang dari sekolah, Mamat
berani menolong ibu masuk api?”
“Berani…..Pak,”
Mamat tersenyum.
Bu
Jambi senang mendengar jawab anaknya dan menyahut, “Tak usah tunggu sampai ibu
kebakaran baru ditolong, kalau ibu memanggilmu, cepatlah datang. Disuruh mandi
cepat. Disuruh cuci piring tdak mogok, ya Ani?”
Win
dan Ani memandang ibunya.
Tak
sepatah pun keluar kata-katanya.
AYAH DUDUK TERTIDUR
(cerita tentang seorang anak yang menyatakan
tanda sayangnya kepada ayahnya)
Ketika
aku hendak masuk ke kamar untuk tidur, kulihat ayah masih duduk tekun
menghadapi meja. Kertas berserakan.
Ibu
yang menidurkan bayi adikku terlanjur tertidur.
Dua
orang adikku yang lain sudah pula kusuruh tidur setelah mencuci kaki masing-masing.
Lampu
gantung itu masih kurang terang rupanya untuk mata ayah. Buktinya ia tadi
menyuruhku membeli sebungkus lilin.
Ayah
biasa membawa pekerjaan kantor seperti itu. Katanya untuk mendapatkan tambahan
penghasilan.
….
….
Kupandangi
lampu tempel dalam kamar. Aku tidur bersama kedua adikku. Cahaya lampu itu
rasanya makin mengecil dan tiba-tiba kecil sekali, dan…..aku tertidur.
Tetapi
tiba-tiba lolong anjing tetanggaku membangunkanku.
Lama
lolong-lolong itu.
Kubuka
mataku dengan malas. Cahaya lampu tempel ternyata masih tetap seperti semula.
Terasa
aku ingin ke belakang berhajat kecil
Aku
turun dari tempat tidur.
….
….
Kutengok
ke arah ruang depan. Biasanya gelap saja ruang depan, tetapi….
“Heeeehhh…masih
menyala lampu!”
Aku
bergegas ke kamar mandi. Kemudian aku ke ruang depan. Kudapati ayah tidur
sambil duduk. Tangannya memegangi sarung yang dipakainya untuk berselimut.
Udara malam itu memang dingin.
Ayah
menunduk. Matanya tampak terpejam.
Dari
cahaya dua lilin yang hampir habis dan lampu gantung tampaklah urat-urat air
mukanya yang berjaluran.
Aduh
ayahku, demikian keras kerjanya. Sehingga tidur pun hanya sejenak dua, sambil
duduk lagi. Aku ingin memeluknya atau duduk di pangkuannya menyatakan tanda
sayangku kepada ayah. Tetapi itu pasti akan mengejutkannya.
Aku
bergegas ke dapur. Kunyalakan kompor. Kujerang air.
“Biar
kubuatkan kopi…” pikirku.
Kubuka
lemari makan. Kujumpai nasi-nasi kering. Kerak, namanya. Ayah suka sekali bila
nasi itu digoreng.
Aku
tak tahu sudah jam berapa malam itu.
Sesudah siap nasi itu kugoreng dan membuat air
kopi, menghidangkan semuanya di kursi di dekat ayah. Di meja, aku takut
mengenai kertas-kertas pekerjaan ayah.
Ayah
masih tertidur juga.
Kupegang
pundaknya. Perlahan-lahan sekali kupijit-pijit.
Ayah
terbangun dan memegang tanganku.
Terpandang
olehnya kopi dan goreng kerak di dekatnya. Kopi yang mengepul.
Ia
tersenyum kepadaku. Ditariknya tanganku. Dipangkunya aku dan diciuminya. Sudah
sebesar ini aku!
Aku senang sekali malam itu.Judul: Orang-Orang Tercinta
Penulis: Soekanto SA
Penyunting: Maria
Hartiningsih
Penerbit: Kompas
Cetak: Kedua, Mei 2006
Tebal: 160 hlm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar