Kamis, 27 Februari 2014

Orang-Orang Tercinta

“Inspirasi ceritanya datang dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Pantangan dalam cerita anak---terutama menggurui---memaksa dia kreatif agar penyelamannya tersaji secara indah dan lebih tersaring. Supaya hanya sari makanan yang bernilai yang perlu untuk perkembangan jiwa anak.”




Demikianlah kata Pak Soekanto SA yang sebelumnya tidak yakin apakah cerita anak punya nilai sastra.
Orang-Orang Tercinta. Judul sebuah buku kumpulan cerpen anak karya Soekanto SA yang identik dengan Si Kuncung, majalah anak pada akhir tahun 1950-an sampai pertengahan tahun 1970-an.
Semula saya memilih buku ini hanya karena membaca judul “Kumpulan Cerpen Anak” pada bagian bawah cover buku (sekadar mereferensi). Tak kenal sebelumnya siapa Soekanto SA.
Namun, begitu membaca cerita pertama dan seterusnya, saya sangat kagum dengan gaya bahasanya. Begitu singkat, padat, ringan dan apa adanya tapi mengena.
Setelah membaca tiap kalimat penghabisan cerita, kepala saya geleng-geleng. Karyanya tidak hanya indah, tetapi juga bermanfaat dan punya kemampuan membersihkan jiwa. Padahal ceritanya sederhana tentang orangtua dengan anak, guru dengan murid, kakek/nenek dengan cucu, antar tetangga, tukang becak, penyapu jalanan, penjaga sekolah, dll. Alur cerita yang ditawarkan tidak hanya memuat keceriaan, tapi juga kesedihan, kepasrahan, haru, renungan, kepolosan, cinta kasih, kerinduan. (by sinta nisfuanna ; http://blogbukuindonesia.com )
Baiklah, saya contohkan saja 2 cerita yang sangat saya sukai.

IBU JAMBI
Cerita diawali dengan Ibu Jambi yang melapor pada suaminya yang baru pulang dari lembur.
“Terlalu anak-anak, susah disuruh. Disuruh mati barangkali ibunya…”
(masalah cerita ini tentang anak yang susah disuruh dan membantu ibunya. Disuruh mencuci piring malah lari main ke anak tetangga, disuruh mandi susah, magrib-magrib disuruh pulang juga susah)
Cerita bergulir dimana tokoh Pak Jambi mengumpulkan semua anaknya. Untuk bercerita tentang kasih ibu. Cerita tentang seorang ibu dengan seorang anak perempuannya yang masih bayi. Ayahnya telah meninggal. Pada suatu malam, ibu ini harus pergi ke pasar untuk membeli  beberapa pesanan langganan-langganannya. Karena tak dapat ditunda lagi, ia tinggalkan bayi dalam keadaan tertidur. Tapi sayang ia lupa memadamkan lampu minyak di kamar. Seekor kucing menyinggung lampu itu. kebakaranlah rumah itu. ibunya yang baru pulang berteriak dan memasuki lautan api menuju kamar anaknya. Ketika api akhirnya berhasil dipadamkan, terlihatlah ibu itu sedang memeluk anaknya. Tetapi keduanya telah mati.
“Nah, Mamat, Win, Ani, kau sudah besar,. Ketahuilah, ibumu sebesar itu juga cintanya kepadamu. Misalkan kau dalam bahaya, ibumu akan menembus api untuk menolongmu. Percaya, tidak? Nah, sekarang bagaimana sebaliknya, cintakah, sayangkah kamu sekalian kepada ibumu?”
Mamat, Win dan Ani berair matanya. Terharu mungkin oleh cerita ayahnya.
Hanya Mamat yang pandai menjawab, “Sayang, Pak…”
“Misalkan ibu dalam keadaan terbakar di rumah ini, Mamat datang dari sekolah, Mamat berani menolong ibu masuk api?”
“Berani…..Pak,” Mamat tersenyum.
Bu Jambi senang mendengar jawab anaknya dan menyahut, “Tak usah tunggu sampai ibu kebakaran baru ditolong, kalau ibu memanggilmu, cepatlah datang. Disuruh mandi cepat. Disuruh cuci piring tdak mogok, ya Ani?”
Win dan Ani memandang ibunya.
Tak sepatah pun keluar kata-katanya.

 AYAH DUDUK TERTIDUR
(cerita tentang seorang anak yang menyatakan tanda sayangnya kepada ayahnya)
Ketika aku hendak masuk ke kamar untuk tidur, kulihat ayah masih duduk tekun menghadapi meja. Kertas berserakan.
Ibu yang menidurkan bayi adikku terlanjur tertidur.
Dua orang adikku yang lain sudah pula kusuruh tidur setelah mencuci kaki masing-masing.
Lampu gantung itu masih kurang terang rupanya untuk mata ayah. Buktinya ia tadi menyuruhku membeli sebungkus lilin.
Ayah biasa membawa pekerjaan kantor seperti itu. Katanya untuk mendapatkan tambahan penghasilan.
….
….
Kupandangi lampu tempel dalam kamar. Aku tidur bersama kedua adikku. Cahaya lampu itu rasanya makin mengecil dan tiba-tiba kecil sekali, dan…..aku tertidur.
Tetapi tiba-tiba lolong anjing tetanggaku membangunkanku.
Lama lolong-lolong itu.
Kubuka mataku dengan malas. Cahaya lampu tempel ternyata masih tetap seperti semula.
Terasa aku ingin ke belakang berhajat kecil
Aku turun dari tempat tidur.
….
….
Kutengok ke arah ruang depan. Biasanya gelap saja ruang depan, tetapi….
“Heeeehhh…masih menyala lampu!”
Aku bergegas ke kamar mandi. Kemudian aku ke ruang depan. Kudapati ayah tidur sambil duduk. Tangannya memegangi sarung yang dipakainya untuk berselimut. Udara malam itu memang dingin.
Ayah menunduk. Matanya tampak terpejam.
Dari cahaya dua lilin yang hampir habis dan lampu gantung tampaklah urat-urat air mukanya yang berjaluran.
Aduh ayahku, demikian keras kerjanya. Sehingga tidur pun hanya sejenak dua, sambil duduk lagi. Aku ingin memeluknya atau duduk di pangkuannya menyatakan tanda sayangku kepada ayah. Tetapi itu pasti akan mengejutkannya.
Aku bergegas ke dapur. Kunyalakan kompor. Kujerang air.
“Biar kubuatkan kopi…” pikirku.
Kubuka lemari makan. Kujumpai nasi-nasi kering. Kerak, namanya. Ayah suka sekali bila nasi itu digoreng.
Aku tak tahu sudah jam berapa malam itu.
 Sesudah siap nasi itu kugoreng dan membuat air kopi, menghidangkan semuanya di kursi di dekat ayah. Di meja, aku takut mengenai kertas-kertas pekerjaan ayah.
Ayah masih tertidur juga.
Kupegang pundaknya. Perlahan-lahan sekali kupijit-pijit.
Ayah terbangun dan memegang tanganku.
Terpandang olehnya kopi dan goreng kerak di dekatnya. Kopi yang mengepul.
Ia tersenyum kepadaku. Ditariknya tanganku. Dipangkunya aku dan diciuminya. Sudah sebesar ini aku!
Aku senang sekali malam itu.

     Judul: Orang-Orang Tercinta
Penulis: Soekanto SA
Penyunting: Maria Hartiningsih
Penerbit: Kompas
Cetak: Kedua, Mei 2006
Tebal: 160 hlm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar